CERITA RINGAN KORPRI
Pamanku adalah seorang petani di desa . Kerjaanya yang rutin setiap hari adalah manjat pohon kelapa untuk ngambil air bakalan gula kelapa . Perkerjaan itu disebut orang “nderes”. Dia sangat bangga mengenakan baju seragam Korpri . Kadang dipakai untuk pangajian , atau bahkan kondangan . Untuk itu saya mohonkan ma’af kepada teman – teman anggota Korpri lainnya . Mohon ma’af karena paman saya adalah tukang “nderes” yang tidak mengetahui aturan sebenarnya penggunaan baju kebanggan anda itu . Baju yang hanya kita pakai pada saat upacara atau hari kebesaran KORPRI. Baju yang banyak dirindukan oleh ribuan para pencari kerja , yang kemarin tanggal 12 Desember 2010 diperebutkan oleh 3800 orang lebih .Diulang tahunnya yang kesekian, KORPRI masih setia mengusung tema netralitas dan profesionalisme . Alhamdulililah KORPRI masih netral tidak berpolitik praktis , tetapi individunya dengan diam – diam menjadi simpatisan sebuah partai politik , hal ini di buktikan ketika ada hajatan pemilu dengan malu – malu ia ikut mencoblos gambar pemilu . Inilah netralitas gaya KORPRI , malu – malu tapi mau . Beda dengan saudara kita TNI , sekali netral 100 % tidak berpolitik.
Apa boleh buat …, itulah rupanya garis kodrat yang ditetapkan untuk Korpri .
orang Politik melihat bahwa Korpri dan TNI adalah sebuah kekuatan yang kalau memungkinkan bisa ditarik kedalam siklusnya. TNI masih consist untuk bilang No , tetapi KORPRI sekali lagi malu – malu tapi mau alias tidak consist tetapi anehnya bersemboyan NETRALITAS .
argon Profesional …. Adalah ideal sekali dan jadi harapan semua orang. Idealnya setiap individu anggota Korpri memiliki basic yang sesuai dengan bidang tugasnya. Sehingga the man in the right place akan menghasilkan kinerja yang optimal . Kasus yang terjadi adalah ketika seorang profesionalis di bidang kehewanan disuruh ngurusi ketertiban masyarakat , seorang profesionalis gambar teknik disuruh narik pajak , seorang profesionalis bidang pendidikan disuruh ngurusi KB dan kesehatan dll , apakah ini cermin ke profesinalismean penempatan personil ? Lagi – lagi jargon itu hanya mati diatas spanduk dan kita semua tidak berani mengkritisinya.
Apa boleh buat …, itulah rupanya garis kodrat yang ditetapkan untuk Korpri .
orang Politik melihat bahwa Korpri dan TNI adalah sebuah kekuatan yang kalau memungkinkan bisa ditarik kedalam siklusnya. TNI masih consist untuk bilang No , tetapi KORPRI sekali lagi malu – malu tapi mau alias tidak consist tetapi anehnya bersemboyan NETRALITAS .
argon Profesional …. Adalah ideal sekali dan jadi harapan semua orang. Idealnya setiap individu anggota Korpri memiliki basic yang sesuai dengan bidang tugasnya. Sehingga the man in the right place akan menghasilkan kinerja yang optimal . Kasus yang terjadi adalah ketika seorang profesionalis di bidang kehewanan disuruh ngurusi ketertiban masyarakat , seorang profesionalis gambar teknik disuruh narik pajak , seorang profesionalis bidang pendidikan disuruh ngurusi KB dan kesehatan dll , apakah ini cermin ke profesinalismean penempatan personil ? Lagi – lagi jargon itu hanya mati diatas spanduk dan kita semua tidak berani mengkritisinya.
DISELAMATKAN KARTU KORPRI
Di awal bulan ini saya merencanakan pulang ke kampung halaman sebelum bulan berganti. Tiket pergi-pulang Jakarta Tegal untuk tanggal 26 dan 28 Juni 2009 sudah di tangan. Tiket KA Gumarang dan Argo Muria ini dibeli dengan memanfaatkan potongan harga yang ditawarkan bagi pemilik Kartu KORPRI. Lumayan lah bisa menghemat 10% dari harga normal. Selain potongan harga 10% untuk pembelian tiket PT. KAI, pemegang Kartu KORPRI juga dapat memperoleh keuntungan lain seperti potongan harga untuk pembelian tiket PT. PELNI, Damri, serta pembelian obat dari PT. Kimia Farma.
Beberapa hari menjelang keberangkatan, saat pikiran sudah mulai melayang ke tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, seorang sahabat melayangkan kabar yang membuat saya kesal, sedikit marah, sedih, tapi juga bahagia. Selasa, 23 Juni 2009, sekitar pukul 18.30 WIB. Ana memberitahukan bahwa dia akan melangsungkan pernikahan tanggal 28 Juni 2009 di Klaten. Damn! Saya panik. Saya langsung memutar otak untuk mencari cara bagaimana agar bisa menghadiri pernikahan kawan karib ini meski harus mengorbankan sedikit waktu untuk orang-orang di rumah.
Tiket KA dari Yogyakarta maupun Solo untuk keberangkatan tanggal 28 Juni 2009 malam telah ludes. Rupanya moda transportasi ini masih menjadi favorit terutama di musim liburan sekolah. Mencoba mengintip harga tiket penerbangan dari beberapa maskapai. Oh God... mahal banget! Rata-rata berada di kisaran Rp.560.000 untuk sekali jalan.
Jadwal keberangkatan KA Argo Muria dari Sta. Tegal pukul 18.13 WIB. Tidak mungkin terkejar kalau saya berangkat dari Klaten setelah acara Akad Nikah yang baru dimulai pukul 09.00 WIB. Sebuah rencana nekat terlintas di kepala. Saya akan naik kereta ini dari Sta. Tawang Semarang, tempat kereta diberangkatkan pada pukul 16.00 WIB. Saya berpikiran bahwa yang saya akan lakukan tidak melanggar karena harga tiket Tegal-Jakarta dengan Semarang-Jakarta tak ada bedanya. Saya pun langsung menyusun rencana perjalanan dengan Andri dan Lita.
26 Juni 2009 saya memulai perjalanan dari Sta. Gambir. KA Gumarang diberangkatkan 15 lebih lambat dari jadwal seharusnya. Tiba di Sta. Tegal sekitar pukul 23.00 WIB. Tak banyak yang saya lakukan di kota yang telah menempa hampir dua pertiga hidup saya. Bahkan rencana untuk mencoba memperbaiki komputer di rumah pun tak berhasil dijalankan karena sempitnya waktu.
27 Juni 2009 pukul 21.30 WIB sebuah mobil L300 berwarna merah menyala hadir di depan rumah. Mobil inilah yang mengantar kami – saya dan Andri – menuju Magelang. 28 Juni 2009 pukul 02.30 WIB, sejuknya udara Magelang menyambut kami menapakkan kaki di kota itu, untuk merepotkan (lagi) Lita dan Mas Yoga, sebelum kami sampai ke tujuan utama, Klaten.
Pukul 07.00 WIB kami berempat sudah meluncur membelah jalanan Magelang. Mas Yoga melajukan mobil lebih cepat karena kami tak mau tertinggal acara akad nikah yang rencananya digelar pukul 09.00 WIB. Melintas di Ring-Road Utara di pinggiran DIY, kami masuk ke Jalan Raya Solo menuju Klaten. Berbekal peta yang diberikan Ana kami pun tiba di lokasi tepat saat acara baru saja dimulai. Alhamdulillah.
Sudah 45 menit berlalu dari pukul 10.00 WIB, tetapi rangkaian acara yang mengikuti akad nikah belum juga berakhir. Resah. Saya tak lagi bisa berkonsentrasi mengikuti jalannya acara. Akhirnya kami memutuskan berpamitan karena saya harus mengejar kereta ke Semarang. Mas Yoga kembali memacu mobilnya menuju Terminal Jombor, Sleman. Andri memilih PO. Nusantara sebagai armada yang akan mengantar kami ke Semarang.
Pukul 12.15 WIB bus yang kami naiki mulai melaju perlahan. Sampai Magelang bus ini hanya melaju dengan rata-rata 40km/jam! Saya makin resah karena takut tidak bisa mengejar KA Argo Muria. Kami berdua geregetan. Selidik punya selidik ternyata sang sopir dalam kondisi mengantuk berat sehingga dia tidak berani tancap gas. Kami pun sempat mengabadikan adegan dia sedang mengantuk saat mengendara.
Alhamdulillah kami tiba dengan selamat di Semarang sekitar pukul 15.15 WIB. Mas Wawan, teman kantor Andri, telah menunggu kami di daerah Banyumanik. Mereka berdua mengantar saya ke Sta. Tawang. Saya meminta supir taksi yang kami naiki untuk memacu kendaraannya. Alhamdulillah KA Argo Muria masih nongkrong di situ. “Tinggal satu halangan lagi,” kata saya kepada Andri sebelum bergegas memasuki peron dan berpisah dengan mereka.
Setelah menunggu penumpang lain naik, saya masuk ke gerbong 3 sesuai yang tertera di tiket. Ternyata kursi 7D tidak ada yang menempati. Saya pun langsung duduk di sebelah lelaki seumuran Bapak saya yang terlihat ramah. Tak lama kemudian dari arah belakang tiga orang petugas PT. KAI memeriksa tiket kami dan terjadi dialog yang kurang lebih seperti ini:
Saya: “Pak, tiket saya dari Tegal. Boleh kan naik dari sini?” (sembari menyerahkan tiket kepada salah satu petugas)
Petugas I: “Kenapa naik dari sini?”
Saya: “Tadinya saya mau berangkat dari Tegal tapi ada acara mendadak di sini. Gak terkejar kalau balik ke Tegal dulu.” (memberi alasan)
Petugas I: “KORPRI ya?” (sambil memeriksa tiket saya)
Saya: “Iya, Pak.”
Petugas I: “Wah, seharusnya ini gak bisa. Nih, coba tanya KS. Gimana Pak?” (berpaling ke petugas lainnya)
Petugas III: (memeriksa daftar di tangannya) “7D kosong.”
Saya: “Tapi kan harganya sama, Pak.” (mencoba memberi argumen)
Petugas II (KS): (memeriksa tiket saya) “Ada Kartu KORPRI-nya?”
Saya: “Ada, Pak.” (mencari kartu yang dimaksud dan menyerahkan kepada beliau)
Saya: “Boleh ya, Pak?” (pinta saya sedikit memelas)
Petugas II (KS): “Kalau mau aman sebaiknya Mbak beli tiket untuk jurusan terjauh. Takutnya tiket Semarang-Tegal sudah kami jual.”
Saya: “Baik, Pak. Tapi sekarang boleh kan?”
Petugas II (KS): “Boleh. Untung kursinya belum dijual.” (mengembalikan tiket dan Kartu KORPRI)
Saya: “Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Pak.”
(Petugas II berlalu dari hadapan saya menyusul rekan-rekannya)
Meski sudah memperoleh persetujuan KS (Kepala Stasiun – penulis) saya belum bisa tenang menikmati perjalanan menuju Jakarta. Saat kondektur memeriksa tiket, beliau tidak memperhatikan bahwa tiket saya bukan dari Semarang. Perasaan was-was kembali hadir saat kereta berhenti di Sta. Pekalongan untuk menaikkan penumpang. Takut ada yang menuntut kursi ini. Alhamdulillah tidak ada. Tapi saya tetap was-was saat kondektur kembali berkeliling.
Saya baru bisa tenang setelah kereta melewati Sta. Tegal. Fyuh... berasa seperti maling yang takut tertangkap basah!
Entah karena Kartu KORPRI atau sebab lain, saya benar-benar merasa terselamatkan karena memiliki kartu ini. (penulis adalah anggota KORPRI yang mengalami langsung peristiwa ini).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar